TAKUT ANGSA

Pada akhir tahun 2003 yang lalu, kala itu saya tinggal disebuah pesantren dibilangan kota Cirebon. Pada suatu hari, saya terlibat dialog ringan dengan salah seorang anak pimpinan pondok yang masih berumur sekitar 5 tahunan. De’Daulah demikian saya memanggilnya. Pada umumnya anak seumur dengan de’ Daulah itu sedang lucu-lucunya, kreatif dan banyak hal yang ingin ia ketahui. Demikian itu karena fantasi saat itu memainkan peran yang sangat signifikan. Masa kanak-kanak seperti ini disebut oleh Prof. Dr. Ph. Kohnstamm dalam “Persoonlijkheid in Wording” dengan istilah periode estetis.
Ada satu pertanyaan de’ Daulah yang cukup mengesankan bagi saya saat itu. “Takut setan nggak…?”. Demikian de’ Daulah bertanyan pada saya dengan seriusnya. “Tidak ….! Demikian jawabku mantap. Namun spontan raut wajahnya berubah, seolah-olah ia tidak percaya dengan jawabanku itu.
Sejenak saya berfikir, kemungkinan besar de’ Daulah ini sering ditakut-takuti dengan setan, hantu, gondoruwo atau apapun yang senada dengan itu. Sayapun kurang tahu, siapa yang suka menakut-nakutinya.
Sejenak saya diam, dia bertanya lagi, “Lalu takut sama siapa…..?”. sayapun segera menjawab : “Takut sama Allah”. Dengan sedikit heran de’ Daulah bertanya lagi, “Allah….!, siapa Allah ….?” Katanya. “Allah itu yang menciptakan setan, menciptakan saya dan juga menciptakan de’ Daulah. Kalau Allah punya Neraka, tetapi setan tidak punya. Jadi kita harus takut pada Allah, bukan takut sama setan”. Begitulah saya menjelaskan singkat tentang jawaban saya pada de’ Daulah.
Usai sholat maghrib, saya ajak de’ Daulah ke suatu tempat yang agak gelap, tidak begitu jauh dari lokasi pondok. Segera saya bersembunyi dibalik tembok, iapun berteriak : “Takut……”. Saya segera keluar dan bertanya padanya : “Takut sama siapa …..?”. sambil tertawa de’ Daulah menjawab : “Takut sama Angsa …..”. Sayapun ikut tertawa. Saya berguman dalam hati, “Al-hamdulillah….dia tidak takut lagi sama setan”. Karena dia beralasan bahwa takut sama angsa, maka ku jelaskan bahwa angsanya sedang tidur di kandang.
Sudaah…. de’ Daulah sekarang pulang sendiri saja beranikan ….?, tanyaku. “Berani” jawabnya tegas. Dengan berlari kecil iapun pulang kepondok sendirian. Terbetik dalam hatiku saat itu, bahwa jika anak takut sama angsa itu wajar dan manusiawi, yang penting aqidahnya terselamatkan.
Konklusi yang dapat saya ambil dari peristiwa itu adalah bahwa pada periode estetis atau masa kanak-kanak seperti itu merupakan masa yang paling peka untuk menanamkan aqidah, sikap hidup, bahkan sampai ke masalah idiologi politik. Dengan demikian maka sudah seharusnya bagi orang tua menanamkan dan menyampaikan pendidikan yang benar pada putra-putrinya sejak dini. Demikian itu karena peristiwa kecil sehari-hari sangat efektif untuk menanamkan aqidah dan idiologi yang benar.

Wallahu a’lam bish-showab

    About Me

    Foto saya
    Saudaraku... kita ditakdirkan sebagai manusia dengan beragam suku bangsa dan bahasa... namun demikian tentu hal itu bukan jadi penghalang persaudaraan kita. Sekedar untuk diketahui, bahwa saya adalah insan yang dilahirkan dari keturunan Jawa Timur asli. Meski saat ini saya berada di kota Khatulistiwa ( baca Pontianak bersama anak dan istriku tercinta, namun sampai saat ini ayah dan ibuku masih tinggal di kota REOG ( baca Ponorogo). Jelasnya... saya adalah anak rantau, yang meyakini bahwa bumi yang kita pijak ini adalah sama. dan tentunya keyakinan ini juga ada pada diri anda... thanks

    Followers